Syarat-Syarat Pewarisan dalam Islam

Syarat-Syarat%2BPewarisan%2Bdalam%2BIslam

Setelah seseorang mempunyai hak dan dapat mempusakai, dikarenakan sebab-sebab yang mengikatnya. Baca ulasan sebelumnya mengenai Sebab Pewarisan dalam Hukum Islam dan Hukum Adat. Maka selanjutnya adalah syarat-syarat pewarisan di antaranya adalah:

1. Meninggal dunianya muwaris
Meninggal dunianya muwaris baik secara hakikat maupun secara hukum. Dalam pasal 830 “pewarisan hanya berlangsung karena kematian”. Tirkah (harta peninggalan si mati) tidak boleh di bagikan kepada paara ahli waris, kecuali apabila muwarisnya sudah di ketahui dengan pasti meninggal dunia atau di anggap mati oleh hukum. Contoh orang mati secara hukum ialah orang yang hilang, yang tidak diketahui keadaanya, apakah orang itu masih hidup atau sudah mati. Jelasnya apabila hakim telah memutuskan bahwa orang tadi telah meninggal dunia, maka pada saat itu harta orang yang diputuskan mati secara hukum boleh di bagikan kepada ahli warisnya. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 467-492.

Alasan dari syarat muwaris harus sudah meninggal dunia secara pasti atau secara hukum, sebab orang yang masih hidup mempunyai hak kuasa atas hartanya, tidak boleh seorangpun membelanjakan harta orang yang masih hidup tanpa izin dari pemiliknya. Namun apabila orang itu telah meninggal, otomatis ia tidak dapat lagi membelanjakan hartanya, dan hak miliknya otomatis berpindah kepada orang-orang yang menjadi ahli warisnya.

2. Hidupnya ahli waris di saat kematian muwaris
Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai harta peninggalan, dan berpindah hak itu dapat melalui jalan waris. Oleh karena itu, setelah muwaris meninggal, maka ahli warisnya harus betul-betul hidup agar perpindahan harta itu menjadi nyata. Dalam hal ini ada beberapa masalah yang perlu dipecahkan diantaranya:

a) Mafqud (orang yang bepergian yang tidak diketahui kabar beritanya, hidup atau matinya dan dimana domisilinya). Apabila si mafqud telah mendapat vonis hakim tentang kematiannya dan vonis tersebut telah mendahului kematian orang yang mewariskan, hal itu tidak menimbulkan kesulitan sedikitpun. Tapi masalahnya apabila si mafqud sampai dengan saat kematian muwaris tidak mendapat vonis yang tetap dari hakim tentang kematiannya, maka apakah dia ditetapkan masih hidup, padahal tidak ada kabar beritanya dan apakah dia ditetapkan sudah mati padahal tidak ada bukti yang otentik. Dalam hal ini untuk menjaga barangkali dia masih hidup, penerimaan pusakanya di tahan dulu sampai batas yang telah ditentukan. Bila dikemudian hari sebelum habis batas waktu maksimal menunggu, dia muncul dalam keadaan hidup bagian yang sedang ditahan yang memang disediakan untuknya diberikan kepadanya. Tetapi bila ia telah mati atas bukti yang otentik atau telah divonis mati oleh hakim, maka bagiannya yang sedang ditahan dikembalikan kepada para ahli waris menurut perbandingan furud mereka masing-masing.

b) Anak dalam kandungan. Anak dalam kandungan, ia berhak memperoleh bagian yang sedang dia tahan untuknya, bila ia dilahirkan oleh ibunya menurut waktu yang telah ditentukan oleh syariat dalam keadaan hidup. Kelahirannya dalam keadaan hidup ini merupakan bukti yang kuat bahwa ia benar-benar hidup disaat kematian muwaris. Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud menyatakan; “Apabila menangis anak yang baru lahir, ia mendapat pusaka”.

Sedangkan jika anak itu lahir dan meninggal dunia dianggap tidak pernah ada, sehingga harta yang ditahan untuknya dikembalikan kepada para waris yang ada pada waktu muwaris meninggal. Menurut Hanafiah, jika kematiannya diduga karena akibat dari penyiksaan terhadap ibunya, ia masih dapat mewarisi harta peninggalan ayahnya.

c) Orang yang mati berbarengan. Dua orang atau lebih dari yang berhak saling mewarisi meninggal berbarengan, misalnya seorang bapak bersama anak-anaknya tenggelam bersama-sama di lautan atau terbakar dalam satu rumah, maka mereka tidak mempunyai hak terhadap harta masing-masing (tidak dapat saling mewarisi) lantaran tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal. Harta peninggalan mereka diwarisi oleh para ahli warisnya yang benar-benar masih hidup disaat kematian mereka. Dan inilah yang dimaksudkan oleh fuqoha dari perkataan mereka: "tidak ada saling mempusakai antara orang yang sama-sama karan (tenggelam), sama-sama terbakar, sama-sama tertimbun oleh reruntuhan rumah". Tendensi sebagai fuqoha yang mengatakan bahwa orang yang mati berbarengan masih dapat saling mempusakai ialah untuk menentukan bagian para ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup.

3. Tidak adanya penghalang-penghalang mempusakai
Maksudnya tidak terdapat sebab-sebab atau hal-hal yang menurut undang-undang ahli waris itu tidak pantas atau tidak patut untuk menerima warisan dari si pewaris sebagaimana disebutkan dalam pasal 838 bagi ahli waris menurut undang-undang dalam pasal 912 bagi ahli waris karena adanya wasiat dalam sumber lain, ditambahkan dengan syarat mengetahui status keluarganya dan keadaan warisan. Dengan demikian status warisan harus diketahui seperti suami istri, hubungan kerabat, derajat kekerabatannya, sehingga hakim yang ahli (mengetahui ilmu faraid), dapat menerapkan hukum sesuai dengan semestinya. Telah diketahui bahwa pembagian harta warisan itu berbeda-beda sesuai dengan status derajat kekerabatannya, dalam hal ini harus diketahui apakah saudara kandung, se-ayah atau se-ibu, karena masing-masing saudara tersebut mempunyai bagian tersediri.
loading...
Previous
Next Post »