1. Pengertian al-Razzaq
Al-Razzaq diambil dari kata razaqa atau rizq, yakni rezeki. Hanya saja makna rezeki
mengalami pengembangan makna sehingga ia juga dapat berarti adanya pangan,
terpenuhinya kebutuhan, honor seseorang, ketenangan ataupun hujan serta makna-makna
lainnya. Dengan demikian rezeki berarti segala pemberian dari Allah Swt
yang dapat dimanfaatkan baik berupa fisik, maupun non fisik.
Dalam al Quran kata al-Razzaq hanya disebutkan satu kali di dalam firman
Allah Swt:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ
الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh” (QS. Al-Dzariyat[51]:58)
Hanya saja banyak ayat yang lain yang menggunakan akar kata al- Razzaq ini
yang tersebar di dalam al Quran.
Al-Razzaq berarti Allah Swt secara berulang-ulang dan terus-menerus
memberikan banyak rezeki kepada makhlukNya. Dalam hal ini Imam Ghazali
berkata: "Allah Swt yang menciptakan rezeki dan Ia pula yang menciptakan pencari
rezeki sekaligus yang mengantarkannya serta menciptakan hukum kausalitas
sehingga manusia dapat menikmatinya"
2. Meneladani Allah dengan sifat al-Razzāq
a. Setiap orang sudah dijamin rezekinya.
Sesungguhnya seluruh makhluk Allah sudah dijamin rezekinya. Manusia
yang mendapatkan rezeki dengan cara-cara yang haram sekalipun sesungguhnya
oleh Allah Swt sudah menyediakan rezeki yang halal, tetapi sosok yang bersangkutan
enggan mengambilnya atau kurang puas dengan perolehannya sehingga ia memilih
rezeki yang haram. Allah Swt berfirman:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الأرْضِ إِلا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya" (QS. Hud[11]:6)
Agama menganjurkan manusia dalam rangka memperoleh rezeki untuk berusaha semaksimal mungkin dan apabila terhalangi, maka ia dianjurkan untuk berhijrah.
b. Berusaha secara maksimal dan qona’ah
Harus dipahami bahwa jaminan rezeki yang diberikan oleh Allah Swt disertai
dengan usaha. Selain itu kita juga harus menyadari bahwa yang memberikan jaminan
rezeki tersebut adalah Allah Swt Dzat yang menciptakan makhluk dan hukum alam
yang mengatur kehidupannya. Dengan demikian kehendak, perasaan selera dan
instink manusia merupakan rezeki dan dengan hal-hal tersebut tercipta dorongan
manusia untuk berusaha. Setelah manusia berusaha dan mendapatkan hasil, maka
harus diiringi dengan sifat qana’ah atau merasa puas dengan apa yang diperoleh.
Hanya saja jangan salah dalam memahami qana’ah sebab kepuasaan tersebut harus
melalui tiga hal:
Pertama, Usaha maksimal yang halal.
Kedua, keberhasilan memiliki hasil atau rezeki dari usaha yang maksimal itu
sendiri.
Ketiga, Dengan hati yang lapang mnyerahkan apa yang telah dihasilkan karena
sudah merasa puas dengan penghasilan sebelumnya.
Oleh karena itu usaha yang maksimal yang tidak disertai dengan keberhasilan atau kepemilikan hasil usaha, maka ia belum dikatakan qana’ah apalagi jika seseorang menyerahkan apa yang ia peroleh tidak dengan hati yang lapang.
c. Mengantarkan rezeki kepada orang lain
Dalam rangka meneladani asma Allah al-Razzaq sudah sepatutnya manusia
menjadi penyebab sampainya rezeki yang ia terima kepada orang lain. Semakin
banyak orang memberikan rezeki yang ia peroleh kepada orang lain, maka ia
semakin meledani sifat al-Razzaq Allah Swt. Meskipun demikian al-Quran tidak
menganjurkan seseorang untuk memberikan seluruh rezeki yang diperolehnya
yang bersifat materi kepada orang lain. Dalam hal ini Allah Swt berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah Kami berikan kepadamu" (QS. Al- Baqarah[2]:254)
Ayat di atas juga mengisyaratkan bahwa hendaklah sebagian rezeki yang kita peroleh untuk ditabung untuk biaya-biaya yang tidak terduga. Adapun untuk rezeki yang bersifat non fisik seperti ilmu pengetahuan, maka tidak ada kewajiban menyimpannya. Karena ilmu pengetahuan semakin diberikan, maka semakin bertambah bukan berkurang.
Wallahu a’lam bish-shawabi...
loading...
EmoticonEmoticon