Sejarah Tarekat Qodiriyah dan Ajarannya

 Sejarah%2BTarekat%2BQodiriyah%2Bdan%2BAjarannya

Tarekat ini didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir al-Jailani (471 H/1078 M). Tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi salih Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077M – 561 H/1166 M). Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Irak dan siria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang terbesar di Yaman, Turki, Mesir, india, Afrika, dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13 M. Sekalipun demikian, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke-15 M. Di Mekah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Tarekat Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh, murid tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”

Karena keluwesan tersebut, terdapat puluhan tarekat yang masuk ke dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam, seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, ghawtsiyah (1517), junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya dari India. Di Turki, terdapat tarekat hindiyah, khulusyiyah, dll. Di yaman, ada tarekat ahdaliyah, asadiyah, musyariyah. Adapun di afrika, diantaranya terdapat tarekat ammariyah, bakka’iyah, dan sebaginya.

Ajaran Tarekat Qadiriyah
Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah:

1. Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.

Ibnu ‘abas ra. Berkata: “taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam hatipermohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan berniat tidak akan mengulangi lagi”.

Menurut syekh Abd Qadir jailani, taubat ada dua macam, yaitu:

1) Taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia.Taubat ini tidak terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.

2) Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.

2. Zuhud
Zuhud secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut istilah zuhud adalah merupakan gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut ‘Abd al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:

Zuhud hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari hatinya. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi di mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.

Zuhud lahir yaitu mengeluarkan dunia dari hadapannya. Berarti bahwa harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya.

3. Tawakal
Tawakal artinya berserah diri. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap hukum dan takdir.

Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip sebuah sabda Nabi,”bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda Nabi,”Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya kepada akhirat berkurang.”

4. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya.

Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:

1) Syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukkan.

2) Syukur dengan badan atau anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha mnjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.

3) Syukur dengan hati, yaitu beritikaf/berdian diri atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.

5. Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:

1) Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

2) Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesuliatan dan musibah.

3) Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jaln keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.

6. Ridha
Ridha adalah kebahagian hati dalam menerima ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya sikap ridha, “dengan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat darinya, keridhaan dan syurga. Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal”.(At-Taubah: 21).

7. Jujur 
Jujur menurut bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tiadak menguntungkan.
loading...
Previous
Next Post »