Sebab Pewarisan dalam Hukum Islam dan Hukum Adat

Sebab%2BPewarisan%2Bdalam%2BHukum%2BIslam%2Bdan%2BHukum%2BAdat

Waris menurut bahasa ialah pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum yang lain. Sedangkan menurut istilah ialah pindahnya hak milik orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkannya berupa harta bergerak dan begitu juga sebaliknya atau hak-hak menurut sya'ra. Adanya orang yang meninggal dunia (pewaris) adanya orang yang masih hidup (ahli waris) dan adanya benda yang ditinggalkan.

Mewaris atau mempusakai itu berfungsi menggantikan kedudukan orang yang meninggal dalam bentuk yang memanfaatkan harta miliknya. Mereka yang mempunyai hak dan dapat mempusakai, dikarenakan sebab-sebab yang mengikatnya. Sebab-sebab itu ialah:

1. Hubungan Darah (nasab hakiki) atau Kekerabatan
Yang dimaksud hubungan darah ialah keluarga terdekat dan masih mempunyai kesatuan dalam darah secara turun-temurun, baik laki-laki maupun perempuan. Hubungan darah ini secara umum disebut juga hubungan nasab (keluarga sedarah dengan pewaris). Maka dari itu bagi anak angkat yang bukan keluarga sedarah tidak memiliki hak waris.[1] Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 4.

مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ

Artinya: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandugmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menujukkan jalan (yang benar).”

Hubungan nasab atau kekerabatan merupakan sebab memperoleh hak mempusakai hak yang terkuat, dikarenakan kekerabatan itu termasuk unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak bisa dihalangkan. Berbeda dengan perkawinan, ia merupakan halal baru dan dapat hilang. Misalnya kalau ikatan perkawinan itu telah dilepaskan. Dalam hal ini Islam menghendaki agar harta peninggalan itu tidak tertumpuk pada seorang keluarga, tetapi dapat dinikmati oleh seluruh keluarga sehingga tidak menimbulkan rasa dendam dan saling mengkhianati satu sama lainnya.

2. Hubungan Pernikahan
Hubungan pernikahan ini terjadi setelah dilakukannya akad nikah yang sah, terjadi antara suami istri dan telah dilunasi pembayaran mas kawin oleh suaminya tetapi tergantung pada syarat dan rukun nikahnya.[2] Atau dengan kata lain terjadinya akad nikah secara legal (syar’i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersenggama) antara keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.[3]

Apabila suami meninggal, dengan meninggalkan istri yang sedang iddah talak raj’iy (ditalak dimana suami masih mempunyai hak penuh untuk rujuk kembali kepada bekas istrinya yang masih menjalankan iddah), istrinya dapat mempusakai harta warisnya demikian juga sebaliknya. Tetapi kalau istri yang ditalak raj’iy tersebut menjadi bain (selesai iddahnya) menurut ijma keduanya tidak dapat saling mewarisi. Bila suami dalam keadaan sakit berat menolak istrinya, kemudian dia meninggal disaat istrinya dalam keadaan iddah, maka istrinya dapat mewarisi harta peninggalan suaminya, tapi tidak sebaliknya. Pendapat ini bersumber dari Umar dan Usman ra. Menurut Ibnu Jubair perempuan yang sudah ditalak bain (tidak dapat dirujuk) tidak dapat mewarisi harta peninggalan suaminya.[4]

3. Wala
Wala yaitu kekerabatan karena sebab hukum atau hubungan antara dua orang yang menjadikan keduanya seakan sudah sedarah sedaging laksana hubungan nasab. Disebut juga wala al-‘itqi dan wala an-ni’mah. Penyebabnya adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-‘itqi. Orang yang telah membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Oleh Karena itu, Allah SWT telah menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik karena ada kekerabatan (nasab) ataupun ada tali pernikahan.

Maka orang yang mempunyai hak wala itu, mempunyai hak mempusakai harta peninggalan budaknya, bila budak tersebut meninggal dunia. Kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan orang lain, disebut dengan walaul muattah. Pihak pertama disebut al-mawali/al-adna dan pihak kedua disebut al-mawala/al-maula. Dalam hal ini menurut ulama Hanafiah, penerimaan pusaka mereka harus di akhirkan.

4. Sama-sama Muslim
Yakni orang yang meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya yang tertentu, harta peninggalannya diserahkan ke baitul mal untuk umat islam dengan jalan pusaka. Kaitannya dengan hal tersebut, Rasulullah saw bersabda: “saya menjadi ahli waris untuk orang yang tidak mempunyai ahli waris.”

Hadits itu menjelaskan bahwa Rasulullah saw tidak menerima warisan untuk diri beliau sendiri, tetapi untuk dipergunakan bagi kemaslahatan umat Islam. Artinya Rasulullah saw menjadi pengumpul harta waris orang-orang yang mati, tetapi tidak meninggalkan ahli waris. Harta yang diterima akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum[5].

Dijelaskan dalam dalam KUHP bahwa sebab-sebab seseorang mendapat kewarisan karena adanya pertalian nasab (genetic), tersebut baik bersifat lurus lurus kebawah (furu’yah) yakni anak keturunan, ataupun keatas (ushuliyah) seperti bapak/ibu dan juga bersifat menyamping (hawasyiah) yakni para saudara (pasal 852-861). Juga karena sebab perkawinan dapatnya saling mewarisi antara suami istri (pasal 852 a). baik karena pertalian nasab ataupun karena sebab perkawinan keduanya diistilahkan dengan perkawinan menurut undang-undang karena di dalamnya di tentukan undang-undang. Kewarisan juga dapat berupa wasiat pewaris (warisan testamer) orang yang menerima disebut waris, yang berwasiat disebut (legataris) dengan porsi selanjutnya diatur dalam BW (PASAL 954-972).

Dalam undang-undang ketentuan hukum perdata ada dua cara untuk mendapatkan waris, sehingga timbul dua macam ahli waris, yaitu:

1) Pewarisan (ahli waris menurut undang-undang)
Ketentuan atau hukum waris menurut undang-undang disebut juga hukum waris tanpa wasiat atau disebut juga hukum waris karena kematian. Ketentuan ini terdapat pada pasal 874. Para ahli warisnya disebut ahli wali waris menurut undang-undang, yaitu ahli waris yang dituju oleh undang-undang itu sendiri. Undang-undang menunjuk ahli waris adalah keluarga sedarah (hubungan nasab) dan suami atau istri (hubungan perkawinan) yang masih hidup. Hal ini seperti yang tertera dalam pasal 832.

2) Pewarisan (ahli waris menurut testament)
Selain pewarisan menurut undang-undang, dikenal juga pewarisan karena testament (wasiat). Ahli waris menurut wasiat mendapatkan bagian berdasarkan petunjuk si pewaris pada waktu masih hidup. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 875 dan 876. Isi wasiat pewaris bisa berisi penunjukan ahli waris, sebagaimana diatur dalam pasal 954 atau juga berisi hibah wasiat seperti dalam pasal 957.

Di Indonesia disamping pembagian waris menurut hukum islam juga terdapat pembagian pewarisan menurut hukum adat. Yang sebab-sebabnya sebagai berikut.

a. Sebab keturunan
Keturunan dalam hal ini diutamakan adalah anak sebagai ahli waris utama yang mempunyai ketentuan berbeda. Sesuai dengan perbedaan sifat kekeluargaan di berbagai tempat ia tinggal.

b. Sebab perkawinan
Seorang istri yang ditinggal mati suaminya atau suami yang ditinggal mati istrinya, dikebanyakan daerah lingkungan hukum adat, dianggap sebagai orang yang asing. Seorang istri yang ditinggal mati suaminya hanya dapat ikut memiliki atau mengambil hasil seumur hidup dari harta peninggal suaminya. Seorang suami yang ditinggal istrinya (di Minangkabau) tidak menerima apapun juga dari harta peninggalan istrinya.

c. Sebab adopsi
Menurut hukum adat, anak angkat mendapat warisan sebagaimana anak kandungnya sendiri. Jika anak yang diadopsi itu kemenakannya sendiri ia menjadi waris terhadap orang tua yang sebenarnya, kecuali di Sumatera yang menetapkan hubungan waris dengan orang tua dan kerabatnya sendiri telah terputus.

d. Masyarakat jauh
Apabila ahli waris tidak ada sama sekali peninggalan harta yang ada jatuh pada masyarakat setempat dibawah kekuasaan kepala masyarakat.

Di dalam kitab KUHS disebutkan bahwa orang-orang yang berhak mewarisi itu ada empat golongan, yang secara berturut-turut, sebagai berikut:

Golongan pertama termuat dalam pasal 852, terdiri atas:
1. Anak-anak baik laki-laki maupun perempuan
2. Anak turunannya anak-anak sebagai pengganti ayahnya yang meninggal mendahului kakenya
3. Suami atau istri yang simati

Apabila golongan pertama ini tidak ada, hak waris itu berpindah pada golongan ke dua sebagai mana termaktub dalam pasal-pasal 854, 855, dan 856 yang terdiri dari:
1. Orangtua (ibu bapak)
2. Saudara-saudara sekandung

Kemudian golongan kedua ini tidak ada juga, hak waris itu berpindah kepada golongan ketiga sebagaimana termuat dalam pasal-pasal 853 jo, pasal 859 yang terdiri atas:
1. Kakek atau nenek dari ayah atau ibu
2. Ayah atau ibunya kakek dan nenek (buyut)

Kalau golongan ketiga ini juga tidak ada, hak waris itu berpindah pada golongan keempat yang terdiri atas:
1. Saudara atau saudari sekakek buyut
2. Saudara atau saudari senenek buyut

Bila suami istri dan keluarga sedarah yang termasuk dalam golongan pertama, kedua, ktiga, dan keempat semuanya tidak ada, maka harta peninggalan sipewaris setelah digunakan untuk melunasi hutang-hutangnya yang ada, menjadi hak milik Negara. Mengenai anak yang lahir diluar perkawinan (zina) yang diakui sebagai anak yang sah, menurut kitab undang-undang hukum sipil juga berhak mewarisinya.[6]

Referensi:
[1] Drs. Ujang Dedih, Fiqih Munakahat dan Waris, CV. Insan Mandiri, Bandung, 2013, hlm. 157.
[2] Ibid, hlm. 160
[3] Drs. Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 109.
[4] Drs. Ujang Dedih, op.cit. hlm. 161
[5] Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Pustaka Setia, Bandung, 2009, hlm. 112
[6] Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris, 2006, Bandung: Pustaka Setia, hlm. 29
loading...
Previous
Next Post »