Adakah tuntunan mengadzankan bayi ketika lahir?
Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti
dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu
adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan
penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini
sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam
permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan
perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap
muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang shohih.Boleh kita berpegang
dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al
Qur’an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah
layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada pembahasan kali
ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang baru lahir
disyari’atkan (disunnahkan)?
Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu
kami akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar
dalam muqodimah, silakan simak pembahasan berikut ini.
Pendapat Para Ulama Madzhab
Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.
Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka
tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak
perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi).
Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci
perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada
tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang
mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah
Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof
Kuwaitiyyah, Asy Syamilah)
Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.
Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada
perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?
Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan
suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana
hal ini diperintahkan dalam firman Allah,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada
Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku.
Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura: 10)
Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan,
“Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini
mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah
yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini)
diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat
yang lain:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”
(Qs. An Nisa’ [4]: 59). Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita
yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan
kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan
beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.
Dalil Para Ulama yang Menganjurkan
Hadits pertama:
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata:
رَأَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ
الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah
melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Hadits kedua:
Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ
وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ
الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan
dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan
membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu
Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).
Hadits ketiga:
Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan:
أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin
‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan
iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul
Iman)
Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi
termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits
di atas terlebih dahulu.
Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-Hadits di Atas
Penilaian hadits pertama:
Para perowi hadits pertama ada enam:
مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ
عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ
yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.
Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi
mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari
dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul hadits (sering
membawa hadits munkar).
Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).
Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi.
Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat
hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna
yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan
ketiga.
Penilaian hadits kedua:
Para perowi hadits kedua ada lima:
حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.
Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta
dan Adz Dzahabi menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya
ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa
Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering
memalsukan hadits.
Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat
menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma
sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits
kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if
(lemah) menjadi hasan.
Penilaian hadits ketiga:
Para perowi hadits ketiga ada delapan:
وأخبرنا
علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ،
حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور
ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar,
Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin
Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if
(lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi?
Kita harus melihat perowinya lagi.
Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.
Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa
Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al
Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan
bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).
Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak
ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa
dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.
Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang
memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut
tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka
pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah
suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits
tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya
beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam
Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits yang
membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah
sehingga tidak bisa diamalkan.
Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan, “Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)
Penutup
Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam
masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat).
Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan
bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian
hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas
terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan
maudhu’ (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa
diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.
Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan
amalan ini.” Cukup kami sanggah, “Ingatlah saudaraku, di antara
pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba engkau
memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.
Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits
berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat perkataan orang-orang
yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada
kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara
pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.”
Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang
yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ditanya, “Apakah engkau
menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah
ijtihadiyah, pen)?”
Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang
diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu
(dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua
pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada
pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh
Sunnah, 1/64)”
Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga
dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui
kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan
semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat
memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman
fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Keterangan:
• Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua
periwayat dalam hadits tersebut adalah adil (baik agamanya), dhobith
(kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang
lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
• Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
• Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi
syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih
kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
• Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu
perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
• Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).
***
Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id, dipublish ulang oleh warmus17.blogspot.co.id
loading...
EmoticonEmoticon